“Sang Raja Terakhir dari Surakarta Mangkat: Jejak Spiritual Paku Buwono XIII”
-Baca Juga
Dari pusaka, tembang, hingga ramalan Ranggawarsita takhta Surakarta bukan sekadar istana, tapi jiwa kebudayaan Jawa yang menyatu dengan laku batin.
Minggu pagi, 2 November 2025, langit Surakarta berawan lembut seolah menunduk. Dari balik tembok tebal Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, terdengar kidung lirih gamelan pengiring duka. Sri Susuhunan Paku Buwono XIII, sang raja yang menjaga nyala api tradisi di tengah dunia modern, berpulang ke haribaan Gusti.
Paku Buwono XIII bukan sekadar penguasa simbolik. Dalam dirinya menyatu darah bangsawan dan semangat zaman. Sejak penobatan pada awal 2000-an, beliau dikenal sebagai raja yang tenang, spiritual, dan bersahaja. Di tengah konflik internal keraton, beliau memilih diam dalam laku tapa, memelihara harmoni sebagaimana ajaran sangkan paraning dumadi memahami asal dan tujuan hidup.
Keraton Surakarta mungkin tak setenar Yogyakarta, tapi di sinilah denyut halus budaya Jawa tetap mengalun. Dari tembang Putri Solo hingga busana kebesaran, dari wayang wong hingga upacara sekaten, semua masih dijaga di bawah restu sang raja.
Bagi masyarakat Jawa, seorang raja bukan hanya pemimpin duniawi, melainkan juga penjaga keseimbangan semesta. Dalam doa-doa malamnya, Paku Buwono XIII kerap memanjatkan zikir kejawen, menggabungkan Islam dan rasa kebatinan Jawa sebagaimana ajaran leluhurnya yang memadukan tasawuf dan rasa manembah.
Ranggawarsita, sang pujangga besar dari Keraton Surakarta, pernah menulis dalam Serat Kalatidha:
“Zaman edan, yen ora edan ora keduman.”
(Zaman gila, siapa yang tak ikut gila tak kebagian rezeki.)
Ramalan ini seakan menubuatkan pergulatan para pewaris Keraton antara menjaga nilai luhur dan bertahan di tengah arus modernitas.
Kini, setelah sang raja berpulang, Surakarta seolah menatap cermin sejarahnya sendiri. Dari balik bayangan tembok keraton, kita mendengar bisikan halus: bahwa kemuliaan bukan di mahkota, melainkan dalam ketulusan menjaga budaya dan rasa.
“Raja boleh wafat, tapi rasa Jawa tak akan pernah padam.”