NAPAK TILAS Jenderal Sudirman di Tanah Perang Seribu Tahun
-Baca Juga
Napak Tilas Kediri–Bajulan menyingkap kesinambungan Anjuk Ladang, wilayah perdikan Medang Kamulan, hingga jalur gerilya Republik
Rute Napak Tilas Jenderal Besar Panglima Sudirman dari Kota Kediri menuju Desa Bajulan, Nganjuk, membentang sekitar 37 kilometer. Di balik jarak itu, tersimpan sejarah jauh lebih panjang: wilayah ini telah berfungsi sebagai medan pertahanan sejak abad ke-10, ketika Anjuk Ladang ditetapkan sebagai tanah perdikan Kerajaan Medang Kamulan. Seribu tahun berselang, jalur yang sama kembali dipilih sebagai lintasan gerilya mempertahankan Republik Indonesia.
ANJUK LADANG & TANAH PERDIKAN
Anjuk Ladang: Hadiah Negara untuk Wilayah Pejuang
Prasasti Anjuk Ladang (937 M) yang dikeluarkan Raja Empu Sindok mencatat wilayah Nganjuk sebagai tanah perdikan (sima swatantra). Status ini bukan hadiah seremonial, melainkan penghargaan politik dan militer atas keberhasilan rakyat setempat menahan serangan musuh kerajaan.
Apa itu Tanah Perdikan?
Tanah perdikan adalah wilayah yang:
dibebaskan dari pajak kerajaan
diberi otonomi terbatas
memiliki fungsi strategis (pertahanan, logistik, spiritual)
Dalam tradisi Jawa kuno, tidak semua wilayah bisa menjadi perdikan. Status ini hanya diberikan kepada daerah yang terbukti setia dan tangguh dalam perang.
Makna bagi Hari Ini
Status Anjuk Ladang menunjukkan bahwa kawasan Kediri–Nganjuk:
sejak awal merupakan wilayah tempur dan penyangga negara
memiliki tradisi kolektif perlawanan
menjadi simpul penting dalam jaringan kekuasaan Jawa Timur.
TOPONIMI BAJULAN – MAGERSARI
Nama Tempat sebagai Penanda Sejarah
Bajulan berasal dari kata Jawa bajul (buaya), simbol kewaspadaan dan kekuatan bertahan dalam kosmologi Jawa. Penamaan berbasis fauna lazim pada desa-desa tua yang memiliki fungsi strategis.
Magersari adalah istilah klasik Jawa untuk kawasan hunian penyangga kekuasaan tempat tinggal prajurit, pengiring, atau abdi negara di luar pusat pemerintahan. Keberadaan Dusun Magersari di Bajulan mengindikasikan fungsi lama wilayah ini sebagai zona pendukung kekuasaan atau pertahanan, meski struktur fisiknya telah hilang.
DARI KERAJAAN KE GERILYA
Satu Jalur, Tiga Zaman
Abad X – Medang Kamulan
Anjuk Ladang (Nganjuk) → wilayah perdikan → pertahanan kerajaan
Abad XIII–XV – Kediri–Majapahit
Lereng Wilis–Kelud → jalur logistik, spiritual, dan militer
1948–1949 – Perang Kemerdekaan
Kediri → desa-desa selatan → Bajulan → jalur gerilya Jenderal Sudirman
Hari Ini
Napak Tilas Kediri–Bajulan → rekonstruksi ingatan kolektif → edukasi sejarah lintas generasi
📏 Jarak: ±37 km
🏔️ Medan: kota – desa – perbukitan Wilis
🎯 Makna: kesinambungan strategi bertahan dari kerajaan ke republik
Rute yang Dilalui Peserta (Napak Tilas)
Kota Kediri → Jl. Erlangga → Jl. Hayam Wuruk → Jl. Brawijaya → Jembatan Lama → Jl. Soedanco Supriyadi → Jl. Veteran → Jl. Dr. Saharjo → Jl. Rinjani → Desa Nglebak/Tumpang → Kali Tretes → Pandan Arum → Watugilang → Karangnongko → Parang → Jati → Goliman → Kali Pandan → Ngrampyang → Patuk Kelis → Ngebrak → Paldaplang → Jurang Gendol → Bendungan → Magersari → Bajulan.
Kota Kediri
Rute ini mencampur jalan umum, perkampungan, dan jalur alam perbukitan di lereng Gunung Wilis, seyogyanya mengikuti jejak perjuangan gerilya.
Napak Tilas Sudirman di Kediri Raya memperlihatkan satu hal yang jarang dibahas: Republik tidak membangun jalurnya dari ruang kosong. Ia mewarisi medan, ingatan, dan strategi yang telah ditempa berabad-abad sebelumnya. Dari Anjuk Ladang hingga Bajulan, dari tanah perdikan hingga gerilya, wilayah ini membuktikan diri sebagai tanah yang tidak pernah tunduk pada satu zaman saja.
✍️ Sejarah yang Berjalan
Sejarah sering kita bayangkan sebagai sesuatu yang diam: prasasti di museum, buku tebal di rak, atau nama jalan yang kita lewati tanpa berpikir. Tapi di Kediri dan Nganjuk, sejarah justru berjalan dengan kaki manusia.
Ketika para peserta Napak Tilas melangkah dari Kediri menuju Bajulan, mereka mungkin merasa lelah. Namun lelah itu hanyalah gema kecil dari perjalanan panjang yang pernah ditempuh bangsa ini. Jalur yang mereka lalui telah mengenal tapak prajurit Medang Kamulan, rombongan kerajaan Kediri, pasukan Majapahit, hingga tandu Jenderal Besar Sudirman.
Inilah keistimewaan Jawa: tanahnya tidak pernah netral. Ia selalu berpihak pada mereka yang bertahan.
Napak Tilas bukan tentang nostalgia, melainkan kesadaran. Bahwa kemerdekaan bukan peristiwa tunggal tahun 1945, melainkan rangkaian panjang keberanian yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dari Anjuk Ladang ke Republik, yang berubah hanya nama zaman. Semangatnya tetap sama.
Dan selama masih ada yang mau berjalan untuk mengingat, sejarah tidak akan pernah benar-benar selesai.
