ANAK POLAH, BOPO KEPRODO. Bupati Bekasi Terjaring OTT KPK, Ayah yang Kepala Desa Diduga Jadi Perantara Ijon Proyek
-Baca Juga
Dinasti Kekuasaan Berubah Jadi Dinasti Korupsi:
Uang Rp14,2 Miliar Mengalir Lewat Jalur Keluarga
Pemkab Bekasi berduka. Bukan karena bencana alam, melainkan karena bencana akhlak kekuasaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang (ADK) sebagai tersangka dalam operasi tangkap tangan. Yang lebih mencengangkan, ayah kandungnya sendiri H. M. Kunang (HMK), Kepala Desa Sukadami ikut ditetapkan sebagai tersangka.
Anak menjabat bupati.
Bapak menjabat kepala desa.
Keduanya diduga korupsi bersama.
KONSTRUKSI PERKARA
OTT dilakukan Kamis, 18 Desember 2025, berawal dari laporan masyarakat.
KPK mengamankan 10 orang, dan 8 dibawa ke Gedung Merah Putih.
Tersangka Utama
ADK – Bupati Bekasi (2025–sekarang)
HMK – Kepala Desa Sukadami, ayah kandung ADK
SRJ – Pihak swasta penyedia proyek
Modus
ADK diduga meminta ijon paket proyek sejak Desember 2024
Uang mengalir melalui HMK (ayah) dan perantara lain
Total ijon dari SRJ: Rp9,5 miliar
Penerimaan lain sepanjang 2025: Rp4,7 miliar
Total dugaan aliran dana: Rp14,2 miliar
Barang Bukti
Uang tunai Rp200 juta diamankan di rumah Bupati
Merupakan sisa setoran ijon ke-4
PASAL YANG DIJERATKAN
Pasal 12a / Pasal 11 / Pasal 12B UU Tipikor
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Ancaman pidana berat + perampasan aset
Ketika Kekuasaan Kehilangan Rasa Malu
Negara ini tidak kekurangan hukum.
Yang langka adalah rasa malu pada kekuasaan.
OTT KPK di Kabupaten Bekasi bukan sekadar peristiwa hukum. Ia adalah cermin retak demokrasi lokal, ketika jabatan publik berubah menjadi warisan keluarga, dan kekuasaan dijalankan tanpa adab.
Seorang anak menjabat Bupati.
Seorang ayah menjabat Kepala Desa.
Dan keduanya, menurut konstruksi KPK, bertemu bukan untuk melayani rakyat melainkan untuk membagi ijon proyek.
DINASTI YANG KEHILANGAN BATAS
Dinasti politik selalu berdalih: “Kami dipilih rakyat.”
Namun demokrasi bukan cek kosong untuk korupsi berjamaah.
Dalam perkara ini, garis kekuasaan tidak berhenti di kantor bupati, tetapi menembus ruang keluarga.
Ayah tidak berdiri sebagai penasehat moral, melainkan diduga menjadi jembatan transaksi.
Di titik inilah negara harus berkata tegas:
👉 keluarga bukan wilayah bebas hukum.
IJON PROYEK: MODUS KUNO, AKIBAT MEMATIKAN
‘Ijon’ proyek adalah korupsi gaya lama yang terus hidup karena:
Lemahnya pengawasan internal
Transaksionalnya politik pasca-pilkada
Dan keberanian pejabat menantang risiko hukum
Uang Rp14,2 miliar yang diduga mengalir bukan sekadar angka.
Ia adalah:
Jalan rusak yang tak diperbaiki
Sekolah yang ditinggal bocor
Layanan publik yang dikorbankan
Korupsi bukan kejahatan abstrak.
Ia mencuri masa depan, diam-diam.
KRISIS ETIK KEPEMIMPINAN
Yang paling mengerikan dari kasus ini bukan nilai uangnya,
melainkan normalisasi kejahatan di lingkaran kekuasaan.
Ketika:
Ayah tidak lagi menjadi rem moral
Anak tidak lagi merasa diawasi nurani
Jabatan dianggap hasil investasi politik
Maka yang runtuh bukan hanya pemerintahan daerah,
tetapi kepercayaan publik pada demokrasi itu sendiri.
KPK telah bekerja. Hukum berjalan.
Namun pekerjaan bangsa belum selesai.
Karena korupsi tidak lahir tiba-tiba.
Ia tumbuh subur di:
Dinasti tanpa etika
Kekuasaan tanpa rasa takut pada rakyat
Dan masyarakat yang terlalu sering memaafkan pengkhianatan
“Jika kekuasaan diwariskan tanpa adab,
maka korupsi akan diwariskan tanpa rasa bersalah.”
Bekasi hari ini adalah peringatan nasional.
Bukan untuk ditertawakan.
Tetapi untuk dicegah agar tidak terulang.
Ini bukan sekadar korupsi proyek.
Ini adalah korupsi nilai keluarga, amanah publik, dan kehormatan jabatan.
Ketika ayah tidak lagi menasihati anaknya,
Ketika jabatan diwariskan tanpa adab,
Maka kekuasaan berubah menjadi ladang ijon, dan rakyat hanya menjadi penonton yang dirampok haknya.
“Jika pemimpin rusak, rakyat sengsara.
Jika keluarga pemimpin ikut rusak, negara berada di tepi jurang.”
