“BANGKAI KAPAL MAJAPAHIT TBM REJOTO KOTA MOJOKERTO YANG TIDAK PERNAH BERLAYAR, BUKAN ALASAN JPU TETAPKAN KERUGIAN NEGARA DI PERSIDANGAN TUNTUTAN PENGADILAN TIPIKOR”
-Baca Juga
Ketika hujan bersamaan dengan tuntutan tinggi, dan argumen Penasehat Hukum dipatahkan dengan fakta hukum yang dingin.
Tuntutan kepada 7 orang terdakwa dugaan kasus tindak pidana korupsi pembangunan Pujasera Kapal Majapahit TBM Rejoto Kota Mojokerto senilai Rp 2,5 M, dengan kerugian negara Rp 1,91 M telah dibacakan JPU Kejari Kota Mojokerto di Pengadilan Tipikor Surabaya Selasa 2 Nopember 2025.
Namun demikian suasana batin para terdakwa, penasehat hukum masih bertanya tanya.
“KENAPA JPU MASIH MENUNTUT UANG PENGGANTI, PADAHAL KAPAL SUDAH MASUK ASET PEMKOT?”
Pertanyaan ini dilemparkan keluar ruang sidang oleh Penasehat Hukum terdakwa Cholik Idris, Anam Anis,SH usai persidangan tuntutan terhadap pelaksana pekerjaan proyek cover kapal dan terdakwa lainnya. Baginya, negara tidak semestinya menuntut uang pengganti jika bangkai kapal itu sudah dicatat sebagai aset daerah.
Namun benarkah begitu?
Detak Inspiratif mengupas dari perspektif hukum korupsi modern.
SECARA HUKUM ARGUMEN PH LEMAH
1. ASET BUKAN TAMENG: Yang dihitung bukan “fisiknya”, melainkan “nilainya”
Dalam perkara Tipikor, kerugian negara tidak dilihat dari ada atau tidaknya barang, tapi nilai ekonominya.
Pembangunan Pujasera Kapal Majapahit:
Dinilai gagal bangun
Tidak memenuhi spektek
Tidak berfungsi sebagai penunjang wisata Taman Bahari Majapahit Kota Mojokerto.
Hanya berupa rangka struktur beton dan cover serat fiberglass, bukan pembangunan food court berbentuk kapal budaya Majapahit yang dijanjikan.
Secara hukum:
Jika negara membayar penuh untuk pembangunan Pujasera berbentuk Kapal Majapahit yang berfungsi, namun yang diterima hanyalah kerangka bangkai tanpa nilai manfaat, maka kerugian negara tetap utuh 100%.
2. DIBAYAR LUNAS? Justru itu bukti kerugian terjadi
Pembayaran lunas bukan pembelaan melainkan indikasi kuat adanya perbuatan melawan hukum bila:
Progres fisik tidak sesuai
BAST (Berita Acara Serah Terima) tidak menggambarkan kondisi nyata
Ada rekayasa dokumen
Ada kolusi antara PPK, konsultan, dan pelaksana
Dalam hukum Tipikor:
Kontrak selesai bukan ukuran. Pelaksanaan yang cacat adalah bukti delik.
3. Yurisprudensi MA: Aset cacat kualitas = kerugian negara tetap utuh
Banyak kasus serupa:
Gedung berdiri tapi tak bisa dipakai → tetap kerugian
Jalan dibangun tapi hancur cepat → tetap kerugian
Alkes ada tapi rusak → tetap kerugian
Kapal hibah sektor perikanan hanya jadi besi berkarat → tetap kerugian
Maka:
Bangkai struktur beton dan cover pembangunan Pujasera kapal Majapahit ≠ (tidak sama dengan) penghapusan kerugian negara.
4. Pasal 18 UU Tipikor: JPU WAJIB menuntut uang pengganti
Dalam korupsi, kewajiban jaksa bukan hanya menuntut kurungan, tetapi juga:
memulihkan kerugian negara
memaksa terdakwa mengembalikan nilai kerugian yang nyata
Sehingga tuntutan UP (Uang Pengganti) bukan pilihan, melainkan mandat hukum.
JPU saat itu membacakan angka tuntutan yang tinggi, dengan intonasi khasnya, menekankan:
“Kerugian negara terjadi karena pekerjaan tidak sesuai spek, dan kerugian tersebut tetap ada meskipun fisik kapal dicatat sebagai aset daerah.”
Kalimat itu singkat, padat, dan telak.
Argumen Penasehat Hukum memang menggema, tetapi secara hukum tidak berdiri kuat. Bangkai struktur beton dan covernya pujasera kapal Majapahit tidak bisa dijadikan perisai, karena:
negara membayar penuh,
proyek gagal total,
nilai manfaat tidak ada.
JPU berdiri di posisi yang paling kuat: kerugian negara tidak hilang hanya karena barang cacat tercatat sebagai aset.
Sidang tuntutan 7 orang terdakwa dugaan TPK pembangunan pujasera berbentuk Kapal Majapahit TBM Rejoto Kota Mojokerto sudah dilaksanakan. Tetapi badai sebenarnya baru dimulai: putusan hakim bulan depan akan menjadi babak penentu dalam sejarah panjang proyek Kapal Majapahit mega proyek yang tenggelam sebelum sempat berlayar.
Selasa 9 Desember 2025 agenda Pledoi/pembelaan.
