DAWAR BLANDONG, DESA LANGGANAN BANJIR KALI LAMONG
-Baca Juga
Ketika Air Datang Setiap Tahun, Tapi Negara Tak Pernah Benar-Benar Hadir
Air setinggi lutut hingga paha itu kembali datang.
Pelan, keruh, dan tanpa rasa bersalah.
Sejak Sabtu hingga Senin, 20–22 Desember 2025, warga Kecamatan Dawar Blandong, Kabupaten Mojokerto, kembali hidup dalam kepungan banjir luapan Kali Lamong. Jalan kampung hilang. Teras rumah tenggelam. Aktivitas lumpuh. Anak-anak, orang tua, dan kaum rentan bertahan di rumah yang separuhnya telah menjadi sungai.
Bagi warga Dawar Blandong, banjir bukan lagi bencana dadakan.
Ia adalah ritual tahunan yang selalu terulang.
Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka kembali sendirian.
AIR SUDAH MASUK RUMAH, KEHADIRAN NEGARA BELUM TERLIHAT
Dari pantauan lapangan dan dokumentasi visual, ketinggian air telah melewati batas aman permukiman. Air berwarna coklat keruh ciri khas luapan Kali Lamong menggenangi jalan desa, halaman, hingga bagian dalam rumah warga.
Wilayah terdampak meliputi:
Desa Pulorejo (Dusun Klanting)
Desa Talun (Dusun Sepat)
Desa Banyulegi (Dusun Balong)
Namun hingga banjir memasuki rumah warga, belum tampak respons tanggap darurat terpadu.
Tidak ada evakuasi massal.
Tidak terlihat dapur umum.
Tidak terdengar peringatan dini yang terkoordinasi.
Warga bertahan.
Bukan karena siap.
Tapi karena tidak ada yang datang menjemput mereka.
WARGA: BERTAHAN BUKAN KARENA KUAT, TAPI KARENA TERBIASA
Seorang bapak tua berdiri di teras rumahnya yang tergenang air setinggi lutut. Di tangannya, alat pel sederhana. Ia tidak panik. Tidak berteriak. Hanya diam, memandang air seperti memandang tamu lama yang tak pernah diundang.
“Setiap tahun begini,” katanya pelan.
Di rumah lain, anak-anak duduk di kursi yang dinaikkan dengan batu bata. Ibu-ibu menyelamatkan perabot seadanya. Tidak ada kepanikan massal, karena banjir sudah menjadi bagian dari memori kolektif warga.
Inilah ironi paling pahit:
ketika warga sudah terbiasa dengan bencana,
sementara negara masih sibuk berjanji solusi.
INVESTIGASI KEBIJAKAN: KALI LAMONG, SUNGAI LINTAS DAERAH YANG TAK PERNAH TUNTAS
Kali Lamong bukan sungai kecil.
Ia mengalir lintas Lamongan – Gresik – Mojokerto.
Masalahnya pun lintas kewenangan.
Namun hingga kini:
Pemerintah Provinsi Jawa Timur belum menghadirkan solusi permanen.
BBWS Bengawan Solo dan BBWS Brantas Surabaya belum menuntaskan normalisasi dan pengendalian debit air secara menyeluruh.
Penanganan Kali Lamong terkesan sektoral, parsial, dan berulang di meja rapat.
Setiap musim hujan, banjir datang.
Setiap musim kemarau, masalah dilupakan.
Sementara itu, Pemkab Mojokerto dan BPBD hingga banjir mencapai permukiman belum menunjukkan langkah responsif di lapangan. Koordinasi lintas wilayah lemah. Sistem peringatan dini nyaris tak terasa. Warga kembali menjadi penyangga terakhir dari kegagalan kebijakan.
EDITORIAL : BANJIR INI BUKAN TAKDIR, TAPI KEGAGALAN
Banjir Dawar Blandong bukan sekadar air meluap.
Ini adalah kegagalan negara membaca penderitaan warganya sendiri.
Ketika proyek infrastruktur besar bisa digarap lintas daerah,
mengapa penanganan Kali Lamong selalu tersendat?
Ketika anggaran bisa dialokasikan untuk banyak hal,
mengapa warga Dawar Blandong harus hidup berdamai dengan banjir puluhan tahun?
Negara tidak boleh hadir hanya dalam bentuk berita dan laporan.
Negara harus hadir sebelum air masuk rumah warga,
bukan sesudah lumpur mengering dan kamera dimatikan.
Jika banjir ini terus berulang tanpa solusi permanen,
maka yang tenggelam bukan hanya rumah warga,
tetapi rasa keadilan dan kepercayaan publik.
Warga Dawar Blandong tidak meminta istimewa.
Mereka hanya ingin hidup normal tanpa ketakutan tiap musim hujan.
DETAK INSPIRATIF mencatat banjir ini sebagai luka kemanusiaan yang disengaja oleh pembiaran, bukan takdir alam semata.
Dan luka yang dibiarkan terlalu lama,
akan berubah menjadi amarah sejarah.
