DEBIT SUNGAI SURODINAWAN MEMBESAR, PEJABAT MENGHILANG”. Ancaman Debit Air Sungai SURODINAWAN Menggulung — Birokrasi Mojokerto Masih Sibuk Menata Panggung, Bukan Menata Sungai
-Baca Juga
Bambu Menggunung di Jembatan Fakih Usman, Mitigasi Nol — Dua Pemerintah Sibuk Selfie, Sungai Menunggu Korban
“Beginilah potret abai yang difoto ribuan kali tapi tak pernah ditindak.”
“Musibah bagi masyarakat, berkah bagi pejabat.”
— Warga Surodinawan
Kota Hujan, Birokrasi Mojokerto Kering Fungsi
Hujan deras mengguyur Mojokerto kemarin sore. Debit Kali Surodinawan naik cepat, hanya tersisa kurang dari dua meter sebelum menyentuh bibir tanggul.
Di lapangan: warga mulai gelisah.
Di kantor dinas: masih sibuk rapat internal, coffee break, dan foto dokumentasi.
Fenomena rutin:
Sungai bekerja keras — pejabat kerja keras mencari alasan.
Fakta Lapangan: Bambu Menggunung, Negara Menghilang
Di bawah Jembatan Fakih Usman, tumpukan bambu sebesar truk bak terbuka menggantung di tiang penyangga.
Sumbernya jelas:
Hulu Pacet–Trawas
Aliran Kromong–Pikatan
Kiriman deras Sungai Landaian Jurang Cetot Jatirejo
Gunung Anjasmoro sedang membuang air
Semua bermuara ke sungai kecil yang tidak pernah kecil saat musim hujan tiba.
Tapi…
dimana BBWS Surabaya?
dimana Pemkot?
dimana Pemkab?
dimana BPBD?
Jawaban warga:
“Biasane teko kalo sudah ada korban alias no justice no viral.” Menunggu Viral Baru Bergerak.
Tahun 2004: Luka Yang Tak Diobati, Hanya Ditutupi
Banjir bandang 2004 adalah peringatan keras.
Sungai Surodinawan menggulung Mojokerto permukiman porak-poranda, jembatan terkoyak, tanggul Fakih Usman jebol dihajar air seperti cambuk alam yang murka.
Dua puluh satu tahun berlalu, peringatannya masih sama.
Tapi pemerintahnya sudah berganti generasi.
Sayangnya, kelalaiannya masih generasi lama.
Dua Pemerintah, Satu Sungai, Tidak Ada Kepedulian
Pemkot Mojokerto dan Pemkab Mojokerto lagi-lagi sepakat dalam satu hal:
SEPENDAPAT UNTUK TIDAK MENGERJAKAN APA-APA.
Saat warga lapor:
Tidak direspons.
Saat air naik:
Tidak terlihat.
Saat bambu menumpuk:
Tidak ditangani.
Saat wartawan datang:
Baru mulai cari helm proyek untuk pose “peninjauan lokasi”.
Jargon Tinggi, Minim Perhatian
Baru kemarin Walikota Mojokerto membentangkan jargon BER AKHLAK di Magersari. Aula dihias, ASN berbaris rapi, spanduk besar dipasang.
Pertanyaannya:
Akhlak yang mana yang membiarkan sungai hampir tersumbat total?
Akhlak seperti apa yang membiarkan warga gelisah tanpa mitigasi?
Apakah akhlak pemerintah sekarang hanya muncul kalau kamera media muncul?
Sungguh indah teori itu.
Tapi sungai tidak membaca spanduk.
Sungai hanya menghitung debit dan hambatan.
Banjir Bukan Takdir; Ini Hasil Pembiaran
Setiap tahun narasinya sama:
“Curah hujan ekstrem.”
“Cuaca tidak menentu.”
“Fenomena alam.”
Padahal faktanya sangat sederhana:
Kalau bambu tidak disingkirkan, air akan meluap.
Kalau sungai tidak dinormalisasi, banjir pasti mengulang.
Ini bukan bencana alam.
Ini bencana administrasi.
Diciptakan manusia.
Diperparah birokrasi.
Dibiarkan karena menunggu APBD.
Mojokerto Menunggu BENCANA, Pejabat Menunggu Anggaran
Sungai Surodinawan memberi peringatan.
Debit naik.
Arus mengancam.
Bambu menghambat.
Warga Surodinawan dan Sooko berjaga malam.
Pemerintah berjaga… di WA Grup.
Inilah kota yang setiap tahun diuji.
Dan setiap tahun pula, ujiannya dijawab dengan kalimat klasik:
“Nanti kita koordinasikan.”
Sementara itu, sungai berkata pelan:
“Aku tidak menunggu koordinasi, aku hanya mengalir.”
