DI BALIK SLOGAN “ASN BER-AKHLAK”. Krisis Birokrasi di Era Ika Puspitasari: Mesin yang Menggerung Tapi Sebenarnya Oleng ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

DI BALIK SLOGAN “ASN BER-AKHLAK”. Krisis Birokrasi di Era Ika Puspitasari: Mesin yang Menggerung Tapi Sebenarnya Oleng

-

Baca Juga


Para ASN mengikuti arahan pimpinan. Ekspresi beragam: antara serius, bingung, dan menahan tawa batin.




Awan Hitam menggulung diatas langit Magersari. Lantai aula kecamatan masih menyisakan bau karpet lembap ketika Wali Kota Mojokerto, Ika Puspitasari melangkah ke kursi podium. Di belakangnya terpampang spanduk besar bertuliskan “Ning Ita SiNAR ASN: Sesi Inspirasi dan Arahan ASN Ber-AKHLAK”.


Dari panggung itulah Ika Puspitasari kembali menegaskan sebuah analogi lama:
ASN adalah mesin penggerak birokrasi, dan dirinya adalah sang driver.


Namun di luar aula, di balik kilap kata-kata “AKHLAK”, birokrasi yang ia kemudikan sedang berguncang hebat. Slogan tak mampu menutup aroma kepanikan yang menyeruak dari ruang-ruang rapat, dari lorong-lorong kantor OPD, dari berkas-berkas perkara yang kini tergeletak di meja jaksa.


Sebab pada saat yang sama, kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi Kapal Majapahit di TBM Rejoto senilai Rp 2,5 miliar dengan kerugian negara Rp 1,91 miliar baru saja memasuki babak TUNTUTAN Selasa 2 Desember 2025. 6 orang terdakwa duduk di kursi pesakitan, 1 orang terdakwa DPO dan di antara mereka terdapat 2 orang ASN dari DPUPR PERAKIM, OPD strategis dalam lingkaran pemerintahan Ika Puspitasari.


Mesin penggerak birokrasi itu rupanya tidak prima.
Ia pincang.
Ia batuk-batuk.
Dan “driver”-nya tahu persis itu.



PANGGUNG PEMBINAAN ATAU PANGGUNG PENCITRAAN?

Acara pembinaan ASN yang digelar BKPSDM hari itu didesain megah, didesain inspiratif, didesain rapi dalam balutan tema ASN BER-AKHLAK.
BKPSDM menyebut kegiatan ini bagian dari amanat LAN No.10/2019 tentang pengembangan kompetensi ASN, coaching, mentoring, konseling.


Namun publik Mojokerto tidak lupa: di saat yang sama,
birokrasi sedang gagal menjaga integritas internalnya sendiri.


Jika ASN adalah mesin, maka beberapa bautnya sudah tercerabut.
Beberapa kabelnya terbakar.
Beberapa komponennya bahkan ikut menjadi terdakwa.


Dan di panggung itu, di tengah krisis birokrasi,Ika Puspitasari tampil sebagai narasumber.
Bukan gratis.



HONOR NARASUMBER RP 1,4 JUTA: ETISKAH? PERLUKAH? WAJARKAH?

Pertanyaan besar mulai muncul ketika beberapa LSM dan penggiat anggaran Mojokerto menyoroti honorarium narasumber untuk wali kota yang disebut-sebut bernilai Rp 1,4 juta.


Secara administratif, honorarium narasumber memang tercatat dalam dokumen resmi:

  • Perwali SSH 2024

  • Perwali ASB 2024

  • Dokumen belanja langsung beberapa OPD

  • Lampiran kode belanja “Honorarium Narasumber (Kepala Daerah/Pejabat Setingkat)”


Namun secara moral?
Secara etika publik?
Secara logika pemerintahan?

Di sinilah ironi itu terasa menampar.


Seorang wali kota yang sedang menghadapi krisis integritas birokrasi justru duduk sebagai narasumber berbayar di hadapan ASN yang kini sebagian bersinggungan dengan kasus korupsi.


Krisis terjadi di dalam tubuh birokrasi, tetapi wali kota mengisi forum motivasi dengan honor.
Ini seperti dokter yang sedang kewalahan menangani pasien gawat darurat, tetapi menyempatkan diri menjadi pembicara berbayar tentang “Pentingnya Kesehatan”.


Ada landasan hukum? Ada.
Ada anggaran? Ada.
Tapi apakah itu layak? Apakah itu tepat? Apakah itu berakhlak?

Pertanyaan itu menggema lebih keras dari suara mikrofon di aula Magersari.



ANTARA SLOGAN DAN REALITAS

Sejak slogan “ASN Ber-AKHLAK” diterapkan secara nasional, banyak daerah menyesuaikannya sebagai branding anti-korupsi dan reformasi.


Tapi Mojokerto memiliki luka lama:
Kasus korupsi berulang.
OPD bermasalah.
Pejabat terseret pusaran penyimpangan anggaran.
Jejak masa lalu MKP masih membekas.


Hari ini, Mojokerto kembali berhadapan dengan kasus besar:
Kapal Majapahit.
Anggaran miliaran.
Kerugian negara hampir dua miliar.


Bagaimana mungkin sebuah birokrasi disebut “berakhlak” jika sistem kontrol internalnya gagal mencegah, gagal mendeteksi, bahkan gagal mengendalikan penyimpangan yang terjadi di depan mata?


Bagaimana mungkin nilai akuntabilitas ditegakkan ketika Walikota sendiri menjadi narasumber berbayar untuk ASN, saat ASN-nya sedang duduk di kursi terdakwa?






SIMBOL YANG RETAK

Di panggung pembinaan ASN itu Ning Ita berkata:

“Saya adalah drivernya.”


Namun publik Mojokerto hari ini melihat driver yang sedang menggoyang gas dan rem di saat bersamaan.
Slogan “Ber-AKHLAK” berdiri tegak di panggung, tetapi di belakang panggung:

  • Integritas ASN dipertanyakan,

  • Independensi forum pembinaan ASN dipertanyakan,

  • Etika honor narasumber dipertanyakan,

  • Efektivitas reformasi birokrasi dipertanyakan.


Slogan memang mudah dicetak di spanduk,
di backdrop,
di kertas undangan.

Tetapi realitas birokrasi tak bisa dipoles hanya dengan retorika.


Mojokerto butuh keteladanan, bukan hanya kata-kata.
Butuh integritas, bukan seremonial.
Butuh keberanian, bukan pencitraan.


Sebab publik tahu dan sejarah Mojokerto membuktikan bahwa, korupsi selalu lahir dari birokrasi yang longgar, pemimpin yang abai, dan slogan-slogan yang kehilangan maknanya.



SIAPA YANG AKAN MEMPERBAIKI MESIN?

Jika ASN adalah mesin,
dan wali kota adalah driver,
maka Mojokerto hari ini sedang melaju di jalan licin dengan rem bermasalah.


Pertanyaannya bukan lagi,
“Apakah ASN berakhlak?”
melainkan
“Apakah pemimpinnya memberi teladan akhlak birokrasi?”


Acara pembinaan ASN kemarin hanyalah panggung,
sebuah tirai manis yang menutupi retakan besar di tubuh pemerintahan kota ini.


Kapal Majapahit karam.
ASN menjadi terdakwa.
Anggaran daerah tercoreng.
Dan publik menanti:
Kapan mesin itu benar-benar diperbaiki bukan sekadar digerakkan dengan slogan?






Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode