DI BAWAH ANGIN YANG MENGAMUK, NGARES WETAN BANYAK POHON TUMBANG, KABEL TELKOM DAN WIFI PUTUS
-Baca Juga
Catatan dari Gedeg Mojokerto
Sore itu, SENIN 22 DESEMBER 2025 langit Mojokerto tak lagi ramah.
Awan hitam datang tanpa permisi, berarak cepat seperti amarah yang dititipkan semesta. Hujan turun deras. Lalu angin bukan angin biasa mengamuk, mencabut ranting, merobohkan batang, dan mengguncang rasa aman warga.
Di Desa Ngares Wetan, Kecamatan Gedeg, alam menunjukkan kuasanya. Pohon-pohon besar tumbang, menimpa rumah warga, pagar, bahkan menyeret kabel listrik, Telkom, dan jaringan internet hingga melintang di jalan. Jalan kampung mendadak berubah menjadi lorong krisis: gelap, licin, penuh daun basah dan batang kayu.
Di momen seperti ini, kepanikan adalah naluri pertama.
Warga berlarian menyelamatkan diri. Ada yang menggandeng anak-anak, ada yang memindahkan sepeda motor dan mobil ke tempat aman. Ada yang mengangkat ponsel, merekam peristiwa, seolah ingin memastikan: “Ini benar terjadi.”
Ada pula yang mengumandangkan adzan bukan karena waktu shalat, tapi sebagai panggilan kepada langit: Ya Allah, lindungi kami.
Di warung-warung pinggir jalan Mojokerto, para peserta “ngopi warkop” sore itu tidak lagi membicarakan politik, harga cabai, atau skor bola. Yang dibicarakan adalah angin, pohon tumbang, dan rumah tetangga yang atapnya terbuka seperti dada yang pasrah.
Dari obrolan itulah terungkap cerita kecil yang sering luput dari laporan resmi:
Brodin, bakul pentol keliling, terpaksa baru berangkat berjualan malam hari.
Bukan karena malas.
Bukan karena hujan semata.
Tapi karena takut: jalan tertutup pohon, kabel listrik menjuntai, dan angin yang masih menyisakan ancaman.
Inilah wajah ekonomi rakyat saat cuaca ekstrem datang:
Tak tercatat sebagai kerugian negara, tapi terasa nyata di perut keluarga.
SAAT NEGARA BELUM DATANG, RELAWAN SUDAH DI TEMPAT
Malam mulai turun.
Lampu-lampu redup.
Di atas jembatan kecil, di tepi saluran air yang kecokelatan, suara gergaji mesin meraung, memecah senyap.
Di sanalah Relawan Integritas Sukarelawan Mojokerto (ISM) bekerja.
Tanpa seremoni.
Tanpa spanduk besar.
Tanpa konferensi pers.
Mereka memotong batang pohon tumbang satu per satu. Mengangkat ranting. Membuka akses jalan. Menjauhkan bahaya dari rumah warga.
Agus, salah satu relawan ISM, berhenti sejenak. Tangannya masih bau getah. Bajunya basah. Ia menyeruput kopi hitam pahit kental kopi yang tak pernah ada di ruang rapat ber-AC.
“Awalnya hujan biasa. Terus mendadak gelap. Angin datang kencang sekali. Warga panik. Ya ini harus ditangani cepat. Ini urusan kemanusiaan,” katanya pelan.
Tak ada kata “anggaran”.
Tak ada kata “kewenangan”.
Yang ada hanya: harus bergerak sekarang.
Di satu sisi, pohon tumbang bisa dipotong.
Di sisi lain, kerapuhan sistem sering kali dibiarkan berdiri terlalu lama.
Relawan bekerja di malam hari dengan gergaji mesin dan senter.
Sementara itu, pendataan kerusakan rumah warga masih berlangsung pelan, hati-hati, dan sering kali menunggu prosedur.
Ironis?
Mungkin.
Tapi begitulah realitas di lapangan:
Saat alam tak menunggu birokrasi, kemanusiaan juga tak boleh menunggu disposisi.
Hingga malam semakin larut, suara mesin masih terdengar. Daun-daun basah menempel di sepatu relawan. Warga mulai berani keluar rumah. Jalan kampung perlahan kembali terbuka.
Tak ada korban jiwa.
Tapi ada pelajaran besar yang tersisa.
Bahwa di bawah angin kencang dan hujan deras, yang paling cepat berdiri sering kali bukan gedung, melainkan nurani manusia.
Dan di Mojokerto, malam itu,
kemanusiaan tidak tumbang.
✍️ Catatan Redaksi Detak Inspiratif
Cuaca ekstrem adalah peringatan alam. Solidaritas warga adalah jawabannya. Yang perlu dipastikan: negara tidak datang terlambat, dan mitigasi tidak sekadar wacana.
