KETIKA RAJA MUARA TERSESAT. DI SAMUDERA PASIFIK / LAUT KIDUL
-Baca Juga
Pantai Pasir Panjang Ngliyep, Malang Selatan, siang itu cerah. Libur nasional membuat ombak bukan satu-satunya yang bergelora wisatawan berdatangan, tawa anak-anak bersahutan, kamera ponsel sibuk merekam liburan.
Namun alam punya caranya sendiri untuk menyela.
Di antara buih ombak Samudera Hindia, tampak sesosok tubuh panjang bersisik, terombang-ambing, tak lincah seperti penguasa. Seekor buaya diam, tenang, sekaligus menggetarkan.
Ia bukan legenda. Ia nyata.
Buaya Muara, sang Raja Muara.
π» DARI FREKUENSI RAKYAT
Kabar itu pertama kali bergema bukan dari menara gading, melainkan dari RADIO ANDIKA KEDIRI radio legenda yang setia menemani rakyat, terutama mereka yang akrab dengan kopi hitam dan obrolan pinggiran.
“Pendengar setia Radio Andika Kediri, kami informasikan…
saat ini terpantau seekor Buaya Muara berada di Pantai Pasir Panjang Ngliyep, Malang Selatan.
Kami imbau para wisatawan agar waspada, menjaga jarak, dan mengikuti arahan petugas.”
Satu frekuensi. Satu suara.
Dan pesan itu meluncur cepat menuju warung-warung kopi pinggir jalan.
☕ PARLEMEN WARKOP SI HITAM PAHITE
Di Warkop Pinggiran Jalan, radio kecil menyala.
Kopi hitam nendang.
Rondo Royal gorengan gurih kebanggaan warkop hangat di piring.
Di sinilah demokrasi rakyat bekerja.
Bejo, komentator TARKAM tak resmi, langsung nyeletuk sambil ngunyah:
“Pakde… buayane kuwi kasmaran, nggoleki permaisuri sing lagi wisata nang Ngliyep!”
Hampir semburat itu Rondo Royal dari mulutnya.
Pakde Kumis, sesepuh Parlemen Warkop, tak mau kalah:
“Gundulmu kuwi, Jo!
Ojo asal ngablak…
Sopo ngerti iku isyarat alam saka Nyi Roro Kidul.”
π₯ MBLEDOSSS!
Tawa pecah. Kursi berderit. Kopi hampir tumpah.
π§ INTERUPSI TAK TERDUGA
Belum reda, Wakidi tukang tambal ban ikut nimbrung:
“Lho… ban motor sopo sing mbledosss?
Alhamdulillah… pelaris nambah siji.”
Lalu Gendewo, yang dari tadi diam, mendadak nyerocos:
“Ban motor ndasmu mbledosss!
Iku Paijo jatuh saka kursi, kena balon e anakΓ© Tukiman!”
π₯π₯ DODO MBURI GERRR!!!
Paijo terguling.
Warkop terguncang.
Radio tetap setia di satu frekuensi.
π SIAPA SEBENARNYA TAMU TAK DIUNDANG ITU?
Di balik tawa, fakta bicara.
Buaya itu Buaya Muara (Crocodylus porosus):
predator puncak ekosistem muara
bisa hidup di air tawar, payau, hingga laut
memiliki kelenjar garam
buaya terbesar dan paling berbahaya di dunia
Namun ombak Pantai Selatan Jawa bukan wilayah nyamannya.
Di laut berarus keras, ia bukan pemburu melainkan penyintas.
Gerakannya yang tampak kikuk menandakan:
kelelahan
terbawa arus
sedang mencari daratan aman
⚠️ PERINGATAN UNTUK WISATAWAN
Detak Inspiratif mencatat, ini bukan tontonan.
Jika melihat buaya di pantai:
π« Jangan mendekat
π« Jangan foto jarak dekat
π« Jangan mencoba menghalau
π¨ Laporkan ke BKSDA, Polairud, atau petugas setempat
πΆ Jauhkan anak-anak dari air dangkal
Diam bukan berarti jinak.
Buaya bisa menyerang dalam hitungan detik.
π ALAM SEDANG MEMBERI TANDA
Bagi masyarakat pesisir Jawa, kemunculan satwa liar di tempat tak lazim sering dibaca sebagai alarm alam.
Bukan untuk ditakuti, tapi dipahami.
Ada yang berubah:
di hulu sungai
di muara
di keseimbangan lingkungan
Alam berbicara dengan caranya sendiri.
☕ CATATAN WARKOP rakyat pinggiran
Di ujung obrolan, Parlemen Warkop mencapai mufakat:
“Masalah keganasan…
Buaya Muara, Podo karo kuwe Jo ..
BUAYA DARAT .”π€£π€£π
Tenang. Sabar. Menunggu.
Sekali menerkam…
susah lepas.
✍️ Dari Radio Andika Kediri ke Warkop Pinggiran,
dari peringatan serius ke tawa kolektif,
itulah cara rakyat Indonesia merawat kewaspadaan
dengan informasi, humor, dan akal sehat.
Di Pantai Ngliyep, Raja Muara mungkin tersesat.
Tapi di meja warkop, nalar tak pernah hilang arah.
Detak Inspiratif mencatatnya,
agar liburan tetap aman,
dan tawa tetap hidup.
