PAMONG MAJAPAHIT BERAKSI. Ketika Desa Menjerit di Tengah Efisiensi, Mojokerto Diuji Nurani dan Kebijakannya
-Baca Juga
Rabu, 24 Desember 2025, sejak pagi hingga sore, halaman Kantor Pemerintah Kabupaten Mojokerto dipenuhi gelombang keresahan. Sekitar 200 orang Kepala Desa dan Perangkat Desa turun ke jalan, menamai diri Massa Aksi Pamong Majapahit Beraksi. Mereka bergerak dari Alun-alun Kota Mojokerto, membawa poster, banner, satu mobil komando orasi, serta iring-iringan ratusan sepeda motor dan mobil pribadi.
Ini bukan ledakan emosi sesaat. Aksi ini lahir dari Musyawarah Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan Perangkat Desa se-Kabupaten Mojokerto sehari sebelumnya. Mereka menyebutnya gerakan moral sebuah ikhtiar untuk mempertahankan martabat, kepastian hidup, dan keberlangsungan pelayanan publik paling dasar: pemerintahan desa.
TUNTUTAN DARI AKAR RUMPUT DESA
Dalam surat pernyataan sikap, tuntutan mereka lugas dan tegas:
Kembalikan ADD seperti semula
Terbitkan regulasi/Perbup yang mengatur SILTAP Kepala Desa dan Perangkat Desa
Jika tak dikabulkan, Pemerintah Desa tidak akan menjalankan program Pemkab Mojokerto, termasuk pemungutan PBB
Koordinator lapangan ditunjuk:
H. Sunardi, Kepala Desa Temon, Kecamatan Trowulan
Yoyok, Sekretaris Desa Ngoro
Tulisan di banner menjadi cermin kegelisahan:
“Kembalikan ADD seperti semula”
“Jangan potong gaji kami”
“Manusiakan manusia”
NARASI POLITIK ANGGARAN DAN ANGKA YANG MEMICU RESAH
Dalam orasi, massa menuding pemotongan ADD SILTAP hingga 34 persen telah menghantam banyak pihak: Kades, Perangkat Desa, RT/RW, BPD, PKK, Linmas, Guru Ngaji TPQ, Kader Posyandu, hingga operasional desa.
Mereka mengaitkannya dengan agenda pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Mojokerto, di saat negara menerapkan efisiensi anggaran.
“ADD dipotong sekitar Rp130 juta per desa,”
ujar Sunardi.
Fakta krusial lain mencuat:
“Seluruh operator desa tidak berani mengunggah APBDes 2026, karena belum jelas,”
tegasnya.
Angka-angka yang beredar memperkeras denyut protes:
Efisiensi TKD Pemkab Mojokerto: ± Rp316 miliar
Pengadaan tanah pemindahan pusat pemerintahan: ± Rp100 miliar
Kekurangan SILTAP ADD di 71 dari 299 desa: ± Rp1,8 miliar
Paradoks pun terasa: proyek besar berjalan, tunjangan aparatur paling dasar justru terpangkas.
AUDIENSI PANAS DI RUANG DINGIN
Massa diterima Sekda Teguh Gunarko di Ruang Satya Bina Karya (SBK) Smart Room. AC dingin tak mampu mendinginkan suasana. Sepuluh perwakilan Kades dan Sekdes terlibat dialog keras.
Sekda menyampaikan garis kebijakan:
SILTAP 2026 = 2025
ADD 2026 = 2025
Komposisi belanja desa:
Maksimal 30% untuk SILTAP Kades, Sekdes, dan Perangkat Desa
30% untuk tunjangan & operasional BPD
70% untuk kegiatan pemerintahan, kemasyarakatan, dan pemberdayaan
Ia menegaskan solusi teknis:
Jika ADD tidak mencukupi, SILTAP dapat dipenuhi dari sumber lain dalam APBDes, dan batas 30% dapat dilampaui, dengan syarat penghasilan tidak lebih rendah dari Tahun Anggaran 2025.
Ketidakpuasan membuat massa walk out, kembali berorasi, menunggu kehadiran Bupati.
BUPATI TURUN, JANJI DITABALKAN
Sekitar satu jam kemudian, Bupati Mojokerto AlBarra, didampingi Sekda dan jajaran OPD, menemui massa di ruang Satya Bina Karya Smart Room. Ia menyampaikan:
71 desa mengalami kekurangan SILTAP ADD
Total kekurangan ± Rp1,8 miliar
Kekurangan ditutup BPKAD melalui SK Bupati
“Anggaran negara harus dipertanggungjawabkan,” tegas Bupati.
Meski belum sepenuhnya puas, massa membubarkan diri dengan tertib.
PP NOMOR 11 TAHUN 2019: NEGARA MELINDUNGI APARATUR DESA
PP Nomor 11 Tahun 2019 menegaskan penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa adalah hak normatif yang wajib dipenuhi melalui ADD dari APBD Kabupaten/Kota. Regulasi ini memosisikan aparatur desa sebagai penopang utama pelayanan publik, bukan belanja opsional.
Kebijakan penyesuaian termasuk pemenuhan SILTAP dari sumber lain APBDes dan pelampauan batas 30% sah secara hukum sepanjang tidak menurunkan penghasilan dibanding tahun sebelumnya. Efisiensi tidak boleh mengorbankan martabat.
Kepanikan yang Dijadikan Komoditas
Di lorong birokrasi, kepanikan kerap dipelihara. Oknum yang memiliki akses struktural di level kecamatan, dinas pembina desa, hingga OPD memainkan bahasa gombal kewenangan. Informasi dipelintir, ketakutan dijual sebagai jasa “penghubung” dan “pengaman”.
Detak Inspiratif menegaskan: ketakutan bukan komoditas. Jika regulasi jelas namun keresahan tetap dipupuk, persoalannya bukan anggaranmelainkan kepentingan.
Kalimat Kunci:
“Jika aturan sudah terang, tetapi kegelisahan tetap dipelihara, maka ada pihak yang diuntungkan dari kebingungan.”
Efisiensi Butuh Empati
Aksi Pamong Majapahit Beraksi adalah alarm nurani. Desa adalah wajah negara paling dekat dengan rakyat. Efisiensi anggaran tanpa komunikasi jujur dan empati akan selalu berhadapan dengan perlawanan moral.
Negara boleh berhemat, tapi tidak boleh lupa manusianya. Aparatur desa bukan objek eksperimen kebijakan mereka penjaga denyut republik di tingkat paling bawah.
Hari itu, Mojokerto diuji.
Bukan hanya oleh angka dan regulasi,
melainkan oleh kepekaan.
