Punya BPJS, Tapi Tak Punya Ongkos ke Rumah Sakit
-Baca Juga
Dialog di Rumah Bambu yang Membuat Bupati Mojokerto Murka
Kasus Mbah Siatun Membuka Dugaan Pungutan Ambulans Desa di Kabupaten Mojokerto
BPJS Tak Cukup untuk Mbah Siatun
Dari Dialog Sunyi di Desa Penompo hingga Jejak Ambulans Berbayar
Rumah bambu itu nyaris roboh.
Atap seng berlubang. Dinding miring.
Di sanalah negara diuji tanpa panggung.
Muhammad AlBarra, Bupati Mojokerto, berdiri dengan baju putih dan kopiah hitam.
Di depannya, Mbah Siatun, perempuan disabilitas berkerudung hijau muda.
Tak ada tuntutan.
Tak ada teriakan.
Hanya satu kalimat pelan yang menggelegar:
“Itu loh… uangnya buat mobil.”
Bupati terdiam.
Wajahnya berubah.
“Kalau ke rumah sakit itu kan nggak ada biaya?”
Mbah Siatun mengangguk.
Ia punya BPJS Kesehatan.
Namun tak pernah ia pakai.
Karena ongkos ambulans harus dibayar lebih dulu.
MOMEN AMARAH MORAL: BUPATI PASANG BADAN
Di hadapan camat, kepala desa, dan pendamping sosial, Bupati AlBarra meledak:
“Semua diurus. Gratis.
Kalau ada yang minta uang ambulans, hubungi saya.
Saya yang pasang badan.”
Kalimat itu bukan basa-basi.
Itu peringatan keras kepada birokrasi lapangan.
MBAH SIATUN: POTRET KEMISKINAN EKSTREM
Mbah Siatun:
Disabilitas
Merawat anak stroke
Menanggung lima cucu
Tinggal di rumah tak layak huni
Ia adalah kelompok paling rentan,
namun justru paling sering terabaikan oleh sistem.
Fakta bahwa ia bertahan hidup
bukan keberhasilan negara,
melainkan ketangguhan rakyat miskin yang dipaksa kuat sendirian.
AMBULANS DESA: GRATIS DI ATURAN, BERBAYAR DI LAPANGAN?
Kasus Mbah Siatun bukan kejadian tunggal.
Penelusuran lapangan menunjukkan pola berulang di sejumlah desa di Kabupaten Mojokerto:
TEMUAN KRITIS
Ambulans desa/puskesmas tidak memiliki tarif resmi
Muncul istilah “uang bensin”, “uang sopir”, “uang operasional”
Besaran bervariasi, tanpa kwitansi
Warga miskin tak berani menolak karena kondisi darurat
Secara regulasi, ambulans untuk warga miskin harusnya gratis.
Namun di lapangan, ketiadaan standar membuka ruang pungutan.
BPJS TERPOTONG DI JALAN
BPJS Kesehatan menjamin layanan medis.
Tapi tidak semua menjamin transportasi darurat secara nyata.
Akibatnya:
Warga punya kartu
Rumah sakit siap menerima
Tapi tak punya ongkos menuju layanan
BPJS berhenti di kartu, tidak sampai ke pintu rumah pasien.
DI MANA PERAN DESA, PUSKESMAS, DAN DINAS SOSIAL?
Pertanyaan investigatif yang tak bisa dihindari:
Apakah desa paham skema ambulans gratis?
Mengapa praktik pungutan dibiarkan bertahun-tahun?
Di mana pengawasan kecamatan dan OPD terkait?
Mengapa warga miskin harus “bernegosiasi” saat kondisi darurat?
Kasus Mbah Siatun membuka kegagalan koordinasi sistemik,
bukan kesalahan individu semata.
Langkah cepat Bupati AlBarra patut diapresiasi.
Namun justru karena itulah, momen ini tidak boleh berhenti sebagai empati personal.
Diperlukan:
SOP ambulans desa satu pintu, tanpa tafsir
Larangan pungutan sekecil apa pun
Nomor aduan resmi yang aktif 24 jam
Audit lapangan, bukan sekadar laporan administratif
Karena:
Rakyat tidak boleh menunggu bupatinya datang dulu untuk bisa berobat gratis.
Di rumah bambu Desa Penompo,
negara akhirnya hadir
bukan lewat spanduk program,
melainkan lewat amarah seorang pemimpin yang melihat langsung warganya terjegal ongkos ambulans.
Mbah Siatun tak meminta belas kasihan.
Ia hanya menagih hak paling dasar:
hidup layak tanpa harus membayar jalan menuju rumah sakit.
