"Misteri Bong Cina di Awang-Awang: Dari Janji Rojo Lele ke Lahan Pemakaman Tionghoa"
-Baca Juga
Desa Awang-Awang, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, tengah bergolak. Bukan karena bencana, bukan pula karena perebutan tambang atau sengketa warisan. Tapi karena… sebuah makam Tionghoa atau yang akrab disebut bong Cina yang hendak diperluas oleh Yayasan Kematian Bhakti Sosial Mojosari.
Warga mendadak marah. Pemerintah desa pun ikut bersuara. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mojokerto sampai menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) khusus. Ada yang janggal, ada yang disembunyikan.
Antara Rojo Lele dan Realita
Kisah bermula dari sebidang tanah seluas 1,7 hektar yang dibeli oleh Yayasan Kematian Bhakti Sosial dari warga. Dalam jual beli, disebutkan bahwa tanah tersebut akan digunakan untuk usaha penampungan beras rojo lele usaha yang terdengar biasa saja, tidak menimbulkan curiga.
Tapi belakangan, masyarakat baru tahu, bahwa tanah itu bukan dijadikan gudang beras, melainkan dijadikan pemakaman warga Tionghoa. Dan kini, yayasan itu hendak memperluas lahan pemakaman seluas 900 meter persegi lagi.
Di sinilah kemarahan warga meletup. Bukan hanya karena fungsinya berbeda dari yang disampaikan dalam jual beli, tapi juga karena lokasi bong itu berada terlalu dekat dengan pemukiman dan tanah milik pengembang properti.
RDP Komisi I DPRD Kabupaten Mojokerto Jawa Dengan Pengelola Yayasan Kematian Bhakti Sosial
Ketika DPRD Mulai Turun Tangan
Senin, 25 Agustus 2025, menjadi titik balik. Komisi I DPRD Kabupaten Mojokerto menggelar RDP khusus terkait sengketa ini. Dalam forum itu, terungkap:
Pengurus yayasan mengaku telah memiliki lahan seluas 1,7 hektar dan menyisakan 900 meter.
Namun, saat akan memperluas pemakaman, warga menolak mentah-mentah.
Anggota Komisi I DPRD, Sugianto, menegaskan bahwa persoalan ini harus dikoordinasikan langsung dengan pemerintah desa dan masyarakat setempat.
Yang mengejutkan, OPD teknis seperti DPRKP2, DPUPR, dan Kecamatan Mojosari tidak memiliki data otentik terkait kepemilikan maupun peruntukan lahan tersebut. Ini memunculkan pertanyaan besar:
"Jika dokumen teknis saja tak ada, atas dasar apa proses izin dan peruntukan itu bisa berjalan?"
Lahan Mati, Konflik Hidup
Warga Awang-Awang tak sekadar menolak. Mereka merasa telah dikhianati secara diam-diam, karena saat awal pembelian tanah, tak pernah disebut-sebut akan dijadikan pemakaman.
“Kalau dari awal bilang buat bong Cina, warga pasti sudah menolak!”
– Ujar salah satu tokoh masyarakat dalam forum internal desa.
Isu ini bukan sekadar soal agama atau budaya. Ini soal hak warga atas ruang hidup yang layak dan aman. Tak ada yang ingin tinggal berdampingan dengan makam besar, apalagi jika tanpa persetujuan sejak awal.
Apalagi, area sekitar lokasi kini mulai dikembangkan jadi kawasan perumahan. Warga khawatir, nilai tanah mereka anjlok, dan suasana lingkungan berubah tak nyaman.
DPRD tak tinggal diam. Komisi I berencana akan menggelar RDP lanjutan pada September 2025 mendatang, dengan melibatkan:
Pemerintah Desa Awang-Awang
DPRKP2, DPUPR
Dan yang paling krusial: BPN (Badan Pertanahan Nasional)
Mereka akan mengungkap semua:
Status kepemilikan tanah,
Akta jual beli dan peruntukannya,
Serta legalitas perubahan fungsi dari gudang beras menjadi pemakaman.
Jika ditemukan pelanggaran, tak menutup kemungkinan, DPRD merekomendasikan pencabutan izin atau revisi tata ruang.
Bong Cina Bukan Masalah Agama, Ini Masalah Kejujuran
Kasus ini tidak boleh dilihat sebagai isu SARA. Tapi sebagai ujian transparansi, etika jual beli tanah, dan keadilan tata ruang.
Jika peruntukan tanah bisa diubah semaunya tanpa proses yang sah, maka hari ini makam, besok bisa jadi pabrik limbah, dan lusa mungkin tempat hiburan malam.
"Yang kami lawan bukan jenazah, tapi kebohongan."
– Warga Awang-Awang
Catatan Redaksi:
Detak Inspiratif akan terus mengawal kasus ini hingga terang-benderang.
Karena setiap jengkal tanah di Mojokerto, haruslah berpijak pada kebenaran dan keadilan.
Bukan tipu muslihat, bukan pula akal-akalan akta.