KAPAL MAJAPAHIT YANG TENGGELAM: ANTARA PERPRES 80/2019 DAN PRAKTIK KORUPSI DI MOJOKERTO
-Baca Juga
Proyek Impian dari Perpres 80/2019
Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2019 menjadi payung kebijakan besar untuk percepatan pembangunan ekonomi kawasan strategis Jawa Timur. Di dalamnya, kawasan Gerbangkertosusila — Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan — ditetapkan sebagai episentrum pertumbuhan.
Konsep dasarnya adalah integrasi infrastruktur, investasi, dan pariwisata agar keseimbangan ekonomi tak hanya berpusat di Surabaya, tapi menyebar ke kota satelit seperti Mojokerto.
Di sinilah kemudian muncul proyek Wisata Taman Bahari Majapahit (TBM), gagasan futuristik yang diharapkan menjadi “kebangkitan maritim” Majapahit masa kini. Sebuah taman edukatif, dengan desain kapal besar sebagai ikon sejarah dan ekonomi kreatif baru.
Sayangnya, idealisme di atas kertas kandas di lapangan.
Dari Taman Bahari ke Taman Masalah
Dalam APBD 2023, proyek Pujasera Kapal Majapahit dianggarkan sekitar Rp 2,5 miliar, menjadi spot utama TBM yang total nilainya mencapai Rp 27,7 miliar. Tujuannya sederhana: tempat makan dan UMKM bernuansa bahari.
Namun sejak Agustus 2024, Kejaksaan Negeri Mojokerto mulai menerima laporan masyarakat tentang dugaan pengondisian tender dan ketidaksesuaian pekerjaan. Setelah penyelidikan, 13 Januari 2025, lokasi proyek disegel.
Audit BPKP Jawa Timur mencatat kerugian negara Rp 1,9 miliar — indikasi adanya penggelembungan harga dan item pekerjaan fiktif. Pada 24 Juni 2025, Kejari menetapkan 7 orang tersangka dan menahan 6 orang ; satu DPO.
Salah satu temuan penting di sidang Tipikor: proyek semula satu paket, lalu dipecah menjadi dua bagian agar leluasa menentukan pemenang. Pola klasik, tapi efektif untuk menghindari ambang nilai lelang besar yang diawasi lebih ketat.
Pemeriksaan Setempat: Beton Retak, Reputasi Pecah
Awal Oktober 2025, majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya turun langsung ke lokasi TBM. Hasilnya menohok: beton retak, pondasi rapuh, dan beberapa bagian struktur rusak meski baru beberapa bulan selesai dikerjakan.
Hakim menyebut kondisi ini sebagai bukti kuat ketidaksesuaian spesifikasi kontrak. Fasilitas yang seharusnya tahan cuaca justru menunjukkan gejala keausan cepat, memperkuat dugaan kualitas material diturunkan.
Antara Percepatan dan Pengawasan
Tujuan Perpres 80/2019 sejatinya adalah mempercepat pemerataan pembangunan, tetapi tidak boleh menafikan prinsip akuntabilitas. Justru di Mojokerto, kebijakan percepatan pembangunan ini digunakan sebagai pembenaran proyek mercusuar tanpa kontrol memadai.
Tiga hal krusial muncul dari lapangan dan persidangan:
Kebijakan pusat – implementasi daerah terputus. Pemerintah pusat hanya mengatur kerangka, tanpa mekanisme kontrol ketat di tingkat kota.
Tender split – mark up – progress fiktif. Modus lama tetap abadi di era digital.
Kelemahan pengawasan DPRD & APIP. Audit internal daerah seakan tak punya taring sebelum aparat hukum turun tangan.
Politik di Balik Kapal
Sumber-sumber internal menyebut proyek ini tak lepas dari aroma dinasti kekuasaan lokal. Beberapa pejabat kunci disebut memiliki hubungan kedekatan politik dengan rekanan. Dalam beberapa kasus, intervensi informal menentukan arah tender dan distribusi proyek.
Artinya, pembangunan di bawah bendera “Majapahit” bukan semata program ekonomi, melainkan juga alat konsolidasi kekuasaan.
Jalan Terjal Penegakan Hukum
Kejaksaan Negeri Kota Mojokerto sudah menegaskan komitmen menuntaskan perkara ini hingga ke akar. Namun publik menunggu lebih:
Apakah hanya kontraktor yang ditumbalkan?
Apakah pejabat perencana dan penandatangan kontrak juga ikut diperiksa serius?
Bagaimana dengan fungsi pengawasan DPRD yang seharusnya mencegah penyimpangan sejak awal?
Pertanyaan ini akan menentukan apakah kasus TBM menjadi babak bersih-bersih atau sekadar babak “pengalihan isu”.
Refleksi untuk Mojokerto
Mojokerto punya modal besar ; sejarah, posisi strategis, dan budaya kuat. Tapi modal itu akan sia-sia jika pembangunan dijalankan tanpa etika publik. Percepatan ekonomi tanpa integritas hanya melahirkan proyek cepat jadi, cepat rusak, dan cepat masuk berita hukum.
TBM seharusnya menjadi simbol kejayaan bahari Majapahit. Kini justru menjadi pelajaran mahal bahwa pembangunan bukan sekadar soal beton dan angka, tetapi soal kejujuran.
Kapal Majapahit boleh retak, tapi harapan agar Mojokerto belajar dari kesalahan tetap berlayar.